Penyebab utama yang membuat menyusui penuh drama adalah kurang informasi
Meski sudah sering mendengar beragam manfaat menyusui bagi tumbuh kembang anak, namun masih banyak ibu yang sering kali mempersepsikan kalau aktivitas ini harus dilalui dengan rasa sakit. Benarkah demikian? Apakah mungkin menyusui bebas drama?
Pada Parentstory Festival yang digelar beberapa waktu lalu, Citra Ayu Mustika bercerita mengalami drama menyusui yang sampai hari ini masih membuatnya trauma. “Hal yang paling traumatis yang pernah aku rasakan adalah, ketika harus menandatangani formulir persetujuan pemberian susu formula,” ceritanya dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca.
Konselor Laktasi dan penulis buku Anti Kendor Menyusui ini pun membagikan bagaimana awalnya sampai ia harus berhadapan dengan momen traumatis tersebut. Pada saat hamil anak pertama, Citra sama sekali tidak tahu kalau setiap perempuan memiliki bentuk puting payudara yang berbeda. Sesaat setelah melahirkan, ia baru sadar kalau puting payudaranya masuk kategori flat nipple atau puting datar. Ia semakin tidak yakin bisa menyusui karena tenaga kesehatan yang mendampinginya pasca persalinan langsung bercerita, bahwa sebagian besar ibu dengan puting rata tidak akan bisa menyusui. “Langsung mikirnya kalau menyusui itu not for everyone. Hanya ibu-ibu beruntung dengan puting yang normal saja yang bisa menyusui.”
Karena kurang membekali diri tentang pelekatan, posisi, dan teknik menyusui, Citra pun kemudian berhadapan dengan drama menyusui yang panjang. “Dimulai dari tidak melakukan inisiasi menyusui dini (IMD), yang kemudian membuat anak saya selama 3 hari pertama pasca persalinan lebih banyak tidur. Sekalinya dibangunin untuk nenen, males-malesan. Lalu, ada masalah dengan latch-on yang kemudian membuat puting payudara aku lecet dan bengkak. Hingga kemudian anak aku mengalami dehidrasi dan harus dirawat secara intensif.” Kondisi anak yang mengalami dehidrasi inilah yang kemudian menghadapkan Citra pada situasi harus menandatangani surat persetujuan pemberian susu formula.
Namun Citra tak patah semangat. Dalam kondisi anak masih dirawat secara intensif, ia kemudian mencari segala informasi tentang relaktasi. “Prosesnya tidak mudah juga karena belakangan diketahui kalau anak saya memiliki lip tie dan tongue tie. Drama semua isinya.” Meski demikian pun berhasil melalui semuanya, ia bahkan secara terbuka membagikan pengalamannya melalui buku Anti Kendor Menyusui. Lantas, pelajaran penting apa yang dipetik Citra dari segala macam drama yang dihadapinya selama menyusui anak pertama? Menurutnya, ketika bicara tentang persiapan persalinan, kebanyakan orang tua sibuk melengkapi segala kebutuhan bayi. “Kita tidak berpikir kalau yang paling penting dibutuhkan bayi begitu baru lahir adalah asupan makanannya. Dan sumber makanan yang terbaik bagi bayi adalah ASI. Jadi, sangat penting untuk membekali diri dengan ilmu menyusui sebelum persalinan,” jawabnya tegas.
“Banyak yang bilang menyusui itu harus sakit. Siapa bilang? Itu kenapa perlu mencari informasi yang tepat agar menyusui tidak sakit. Ibu seharusnya menikmati proses menyusui karena ketika ia menikmati maka prosesnya akan jauh dari stres dan produksi ASI pun optimal.” Demikian dr. Sylvia Haryeni, IBCLC., Konsultan dan Konselor Laktasi Brawijaya Hospital Antasari membagikan ilmu pertamanya tentang menyusui pada Parentstory Festival 2020.
Karena kurang informasi, alhasil para ibu menyusui lebih percaya pada mitos-mitos yang beredar. Seperti belakangan ini, sambung dr. Sylvia, banyak sekali ibu menyusui yang percaya kalau ASI harus kental. Bahkan ada yang bilang harus sekental puding. “Kalau sekental puding, bagaimana mungkin bisa dikeluarkan dari payudara? Tidak mungkin ASI sekental itu. ASI yang cair dengan kandungan hind milk-nya saja kalau beberapa jam tidak dikeluarkan akan menyebabkan nyeri payudara yang luar biasa sekali, terbayang tidak kalau ASI harus sekental puding?”
Selain tantangan dari ibu sendiri karena kurang mendapatkan informasi yang tepat tentang menyusui, dr. Sylvia juga menyebutkan bayi menangis menjadi tantangan tersendiri. Setiap kali bayi menangis maka dipersepsikan sebagai bahasa bayi meminta susu. Padahal ada banyak hal yang menyebabkan bayi menangis. “Alhasil, karena merasa setiap kali menangis artinya menyusui, maka Ibu mulai mempertanyakan kecukupan ASI-nya. Terutama di awal-awal setelah persalinan, bayi seolah tidak ada hentinya menyusui, plus maunya menempel ke ibunya terus.” Padahal kalau mau dicermati, bayi terpaksa merelakan kenyamanannya di rahim ibu yang tenang dan hangat ketika berhadapan dengan dunia nyata. “Bisa jadi bayi kehilangan sekali rasa nyaman itu, maka begitu dia keluar dari rahim melalui tempat yang sempit dan keras, bisa jadi mengalami stres serta panik. Itu kenapa bayi selalu menangis dan minta digendong.”
Menariknya lagi begitu bayi digendong maka dia akan mencium aroma payudara yang mirip dengan air ketuban. Ini tentu akan mengembalikan memorinya tentang rahim ibu yang tenang dan hangat. “Jadilah bayi maunya menempel di payudara ibu. Maka sabar-sabarinlah di 2 minggu pertama pasca persalinan, pasti inginnya menempel di pelukan ibu.” Tantangan lain yang juga membuat menyusui menjadi aktivitas yang penuh drama adalah faktor suami atau anggota keluarga lainnya. Dr. Sylvia mengingatkan agar para suami harus memahami kondisi ibu yang lebih sensitif selama menyusui. “Suami harus sepaham dengan pemikiran ibu, sehingga kalau ada perkataan dari anggota keluarga lain, suami bisa meng-counter-nya.” Dan terakhir, yang juga memengaruhi keberhasilan menyusui adalah dukungan dari fasilitas kesehatan serta tenaga kesehatan yang mendampingi ibu mulai dari hamil, bersalin, hingga menyusui. “Carilah dokter serta rumah sakit yang secara konsisten mendukung pemberian ASI,” tegas dr. Sylvia.
Sebenarnya mengapa ASI menjadi sumber makanan terbaik pertama untuk bayi? Dijelaskan dr. Sylvia, di awal kehidupannya, peran penting ASI bukan hanya sebagai sumber makanan terbaik untuk bayi tapi juga membantu proses penyempurnaan organ-organ vitalnya. Ia sebutkan adalah 3 target utama dari ASI, yaitu pencernaan, otak, dan imunitas.